Sabtu, 27 Desember 2014

5 Bangunan Sejarah di Salatiga

1. GEDUNG PAKUWON
Sebuah rumah tinggal di sekitar kawasan Pancasila ini merupakan bekas Gedung Pakuwon, yaitu tempat tinggal akuwu (salah satu gelar/jabatan pada masa pemerintahan Kerajaan Mataram). Di gedung inilah tempat terjadinya penandatanganan Perjanjian SALATIGA pada tanggal 17 Maret 1757.
Namun sayangnya sekarang menjadi milik perorangan sebagai rumah tinggal dan tempat pembuatan meubel. Dan keadaan rumah dan halaman juga sangat tidak terawat.


2. GAGAHNYA BANGUNAN DI JALAN DIPONEGORO, SALATIGA.



Bangunan sepanjang Jalan Diponegoro merupakan bangunan milik orang-orang kaya Eropa. Kendati demikian, bangunan-bangunan itu juga menjadi panggung para pengusaha memamerkan kekayaan. Dari para pemuja prestisius itu, maka tak mengherankan bila banyak bangunan yang berdiri di atas lahan luas dan bangunan menyerupai benteng.

Kemudian, yang kini banyak terjadi salah kaprah, yakni keberadaan bangunan yang kini digunakan sebagai Kantor Satuan Lalu Lintas Polres Salatiga. Awalnya, bangunan ini dikenal dengan Benteng Hock lantaran bentuknya yang menyerupai benteng. Kendati demikian, berdasarkan penelitian lanjutan beberapa pegiat sejarah, bangunan itu murni merupakan rumah tinggal hartawan Eropa.


Nama Hock diambil dari sang arsitek bernama Mr Hock pada kisaran abad ke 19. Catatan yang memungkinkan, bangunan ini dibangun setelah periode perang Diponegoro (1825-1830). Kebijakan membuat bangunan mirip benteng pertahanan diperintahkan Hindia Belanda saat itu. Alhasil, Benteng Hock terinspirasi bangunan bergayabarrock dan art nouveau.


3. PRASASTI PLUMPUNGAN 




Prasasti Plumpungan (juga disebut Prasasti Hampran) adalah prasasti yang tertulis dalam batu besar berjenis andesit berukuran panjang 170 cm, lebar 160 cm dengan garis lingkar 5 meter. Prasasti ini ditemukan di Dukuh Plumpungan, Desa Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo, berangka tahun 750 Masehi. Prasasti ini dipercaya sebagai asal mula kota Salatiga.
Isi Prasasti Plumpungan ditulis dalam Bahasa Jawa Kuno dan bahasa Sanskerta. Tulisannya ditatah dalam petak persegi empat bergaris ganda yang menjorok ke dalam dan keluar pada setiap sudutnya.
Dengan demikian, pemberian tanah perdikan (daerah bebas pajak) merupakan peristiwa yang sangat istimewa dan langka, karena hanya diberikan kepada desa-desa yang benar-benar berjasa kepada raja. Untuk mengabadikan peristiwa itu maka raja menulis dalam Prasasti Plumpungan Srir Astu Swasti Prajabhyah, yang artinya: "Semoga Bahagia, Selamatlah Rakyat Sekalian". Ditulis pada hari Jumat, tanggal 24 Juli tahun 750 Masehi.
Perdikan artinya suatu daerah dalam wilayah kerajaan tertentu. Daerah ini dibebaskan dari segala kewajiban pajak atau upeti karena daerah tersebut memiliki kekhususan tertentu, daerah tersebut harus digunakan sesuai dengan kekhususan yang dimiliki. Wilayah perdikan diberikan oleh Raja Bhanu meliputi Salatiga dan sekitarnya.
Menurut sejarahnya, di dalam Prasasti Plumpungan berisi ketetapan hukum, yaitu suatu ketetapan status tanah perdikan atau swantantra bagi Desa Hampra. Pada zamannya, penetapan ketentuan Prasasti Plumpungan ini merupakan peristiwa yang sangat penting, khususnya bagi masyarakat di daerah Hampra. Penetapan prasasti merupakan titik tolak berdirinya daerah Hampra secara resmi sebagai daerah perdikan atau swantantra. Desa Hampra tempat prasasti itu berada, kini masuk wilayah administrasi Kota Salatiga. Dengan demikian daerah Hampra yang diberi status sebagai daerah perdikan yang bebas pajak pada zaman pembuatan prasasti itu adalah daerah Salatiga sekarang ini.
Konon, para pakar telah memastikan bahwa penulisan Prasasti Plumpungan dilakukan oleh seorang citralekha (penulis) disertai para pendeta (resi). Raja Bhanu yang disebut-sebut dalam prasasti tersebut adalah seorang raja besar pada zamannya yang banyak memperhatikan nasib rakyatnya


4. KANTOR WALIKOTA SALATIGA



Salah satu bangunan bersejarah yang masih bisa kita sambangi di kota yang berdiri sejak 24 Juli 750 M ini adalah Kantor Wali Kota Salatiga di Jalan Sukowati. Posisinya tak jauh dari alun-alun kota yang biasa disebut Lapangan Pancasila. Bangunan ini merupakan salah satu representasi dari Kota Salatiga sebagai kota peristirahatan. Bangunan yang berbentuk kotak ini merupakan salah satu bekas rumah seorang pebisnis ulung yang juga sosok penting di VOC, Baron van Hakeren van der Schoot. Bangunan bergaya klasik rennaisance ini, dibangun pada 1757 saat VOC masih mencengkeramkan kuku bisnisnya di Pulau Jawa.

5. RUMAH DINAS KOMANDAN KOREM




Salatiga tak hanya menyisakan kenangan bagi Soekarno. Di kota ini juga terdapat salah satu rumah bersejarah bagi presiden kedua Indonesia, HM Soeharto. Karier militer Soeharto memang berawal dari sini saat ia menjabat sebagai komandan Resimen di Salatiga. Di bangunan yang sampai saat ini dikenal dengan Rumah Dinas Korem Makutaraman 073 itu, putra pertama Soeharto, Sigit Harjojudanto, dilahirkan. Soeharto juga menjadi korem pertama di tempat ini. Sejarahnya, Korem 073 Makutaraman Salatiga terbentuk berdasarkan Surat Keputusan Panglima Kodam VII/Diponegoro, Brigjen M Sarbini tertanggal 29 Agustus 1961.


Bangunan cagar budaya ini berada di Jalan Diponegoro 97. Hingga saat ini, dikenal warga Kota Salatiga sebagai rumah dinas Komandan Korem 073/Makutarama. Bangunan ini tampak luar begitu megah dengan mengedepankan arsitektur khas kekaisaran Eropa. Bangunan yang terdiri atas dua bangunan utama itu merupakan salah satu bangunan peninggalan juragan perkebunan asal Cina yang merajai ekspor impor di Jawa Tengah.

2 komentar:

  1. seingat ku pakoewon ada di wetan kawedanan, dulu ada pohon mundhu yg lebat dan seger rasanya, pakuwon seingatku adalah tempat MAKUWON bagi priyayi yg akan menghadap pembesar/adipati,istirahat sejenak atau bahkan nginep, bukan tempat tingal/rumah jabatan, mesti pd sekitar th 1990an tempat2 seperti ini ditetapkan sbg cagar budaya,...wallahu'lam.

    BalasHapus
  2. informasinya banyak yang salah om.. gedung papak tidak dibangun tahun 1757. Baron van Hackeren de Sloot (bukan Baron van Hakeren van der Schoot) juga bukan seorang VOC, dia hidup pada akhir abad ke 19 sampai pertengahan abad 20

    BalasHapus