1. GEDUNG PAKUWON
Sebuah rumah tinggal di sekitar kawasan Pancasila ini
merupakan bekas Gedung Pakuwon, yaitu tempat tinggal akuwu (salah satu
gelar/jabatan pada masa pemerintahan Kerajaan Mataram). Di gedung inilah tempat
terjadinya penandatanganan Perjanjian SALATIGA pada tanggal 17 Maret 1757.
Namun sayangnya sekarang menjadi milik perorangan sebagai rumah tinggal dan tempat pembuatan meubel. Dan keadaan rumah dan halaman juga sangat tidak terawat.
Namun sayangnya sekarang menjadi milik perorangan sebagai rumah tinggal dan tempat pembuatan meubel. Dan keadaan rumah dan halaman juga sangat tidak terawat.
2. GAGAHNYA BANGUNAN DI JALAN DIPONEGORO, SALATIGA.
Bangunan sepanjang Jalan Diponegoro merupakan bangunan milik
orang-orang kaya Eropa. Kendati demikian, bangunan-bangunan itu juga menjadi
panggung para pengusaha memamerkan kekayaan. Dari para pemuja prestisius itu,
maka tak mengherankan bila banyak bangunan yang berdiri di atas lahan luas dan
bangunan menyerupai benteng.
Kemudian, yang kini banyak terjadi salah kaprah, yakni keberadaan bangunan yang kini digunakan sebagai Kantor Satuan Lalu Lintas Polres Salatiga. Awalnya, bangunan ini dikenal dengan Benteng Hock lantaran bentuknya yang menyerupai benteng. Kendati demikian, berdasarkan penelitian lanjutan beberapa pegiat sejarah, bangunan itu murni merupakan rumah tinggal hartawan Eropa.
Nama Hock diambil dari sang arsitek bernama Mr Hock pada
kisaran abad ke 19. Catatan yang memungkinkan, bangunan ini dibangun setelah
periode perang Diponegoro (1825-1830). Kebijakan membuat bangunan mirip benteng
pertahanan diperintahkan Hindia Belanda saat itu. Alhasil, Benteng Hock
terinspirasi bangunan bergayabarrock dan art nouveau.
3. PRASASTI PLUMPUNGAN
Prasasti Plumpungan (juga disebut Prasasti Hampran)
adalah prasasti yang tertulis dalam batu besar berjenis andesit berukuran
panjang 170 cm, lebar 160 cm dengan garis lingkar 5 meter. Prasasti ini
ditemukan di Dukuh Plumpungan, Desa Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo, berangka
tahun 750 Masehi. Prasasti ini dipercaya sebagai asal mula kota Salatiga.
Isi Prasasti Plumpungan ditulis dalam Bahasa Jawa Kuno
dan bahasa Sanskerta. Tulisannya ditatah dalam petak
persegi empat bergaris ganda yang menjorok ke dalam dan keluar pada setiap
sudutnya.
Dengan demikian, pemberian tanah perdikan (daerah bebas
pajak) merupakan peristiwa yang sangat istimewa dan langka, karena hanya
diberikan kepada desa-desa yang benar-benar berjasa kepada raja. Untuk
mengabadikan peristiwa itu maka raja menulis dalam Prasasti Plumpungan Srir
Astu Swasti Prajabhyah, yang artinya: "Semoga Bahagia, Selamatlah Rakyat
Sekalian". Ditulis pada hari Jumat, tanggal 24 Juli tahun 750 Masehi.
Perdikan artinya suatu daerah dalam wilayah kerajaan
tertentu. Daerah ini dibebaskan dari segala kewajiban pajak atau upeti karena
daerah tersebut memiliki kekhususan tertentu, daerah tersebut harus digunakan
sesuai dengan kekhususan yang dimiliki. Wilayah perdikan diberikan oleh Raja Bhanu meliputi
Salatiga dan sekitarnya.
Menurut sejarahnya, di dalam Prasasti Plumpungan berisi
ketetapan hukum, yaitu suatu ketetapan status tanah perdikan atau swantantra
bagi Desa Hampra. Pada zamannya, penetapan ketentuan Prasasti Plumpungan ini
merupakan peristiwa yang sangat penting, khususnya bagi masyarakat di daerah
Hampra. Penetapan prasasti merupakan titik tolak berdirinya daerah Hampra
secara resmi sebagai daerah perdikan atau swantantra. Desa Hampra tempat
prasasti itu berada, kini masuk wilayah administrasi Kota Salatiga. Dengan
demikian daerah Hampra yang diberi status sebagai daerah perdikan yang bebas
pajak pada zaman pembuatan prasasti itu adalah daerah Salatiga sekarang ini.
Konon, para pakar telah memastikan bahwa penulisan Prasasti
Plumpungan dilakukan oleh seorang citralekha (penulis) disertai
para pendeta (resi).
Raja Bhanu yang disebut-sebut dalam prasasti tersebut adalah seorang raja besar
pada zamannya yang banyak memperhatikan nasib rakyatnya
4. KANTOR WALIKOTA SALATIGA
Salah satu bangunan bersejarah yang masih bisa kita sambangi
di kota yang berdiri sejak 24 Juli 750 M ini adalah Kantor Wali Kota Salatiga
di Jalan Sukowati. Posisinya tak jauh dari alun-alun kota yang biasa disebut
Lapangan Pancasila. Bangunan ini merupakan salah satu representasi dari Kota
Salatiga sebagai kota peristirahatan. Bangunan yang berbentuk kotak ini
merupakan salah satu bekas rumah seorang pebisnis ulung yang juga sosok penting
di VOC, Baron van Hakeren van der Schoot. Bangunan bergaya klasik rennaisance ini,
dibangun pada 1757 saat VOC masih mencengkeramkan kuku bisnisnya di Pulau Jawa.
Salatiga tak hanya menyisakan kenangan bagi Soekarno. Di
kota ini juga terdapat salah satu rumah bersejarah bagi presiden kedua
Indonesia, HM Soeharto. Karier militer Soeharto memang berawal dari sini saat
ia menjabat sebagai komandan Resimen di Salatiga. Di bangunan yang sampai saat
ini dikenal dengan Rumah Dinas Korem Makutaraman 073 itu, putra pertama
Soeharto, Sigit Harjojudanto, dilahirkan. Soeharto juga menjadi korem pertama
di tempat ini. Sejarahnya, Korem 073 Makutaraman Salatiga terbentuk berdasarkan
Surat Keputusan Panglima Kodam VII/Diponegoro, Brigjen M Sarbini tertanggal 29
Agustus 1961.
Bangunan cagar budaya ini berada di Jalan Diponegoro 97. Hingga saat ini, dikenal warga Kota Salatiga sebagai rumah dinas Komandan Korem 073/Makutarama. Bangunan ini tampak luar begitu megah dengan mengedepankan arsitektur khas kekaisaran Eropa. Bangunan yang terdiri atas dua bangunan utama itu merupakan salah satu bangunan peninggalan juragan perkebunan asal Cina yang merajai ekspor impor di Jawa Tengah.
seingat ku pakoewon ada di wetan kawedanan, dulu ada pohon mundhu yg lebat dan seger rasanya, pakuwon seingatku adalah tempat MAKUWON bagi priyayi yg akan menghadap pembesar/adipati,istirahat sejenak atau bahkan nginep, bukan tempat tingal/rumah jabatan, mesti pd sekitar th 1990an tempat2 seperti ini ditetapkan sbg cagar budaya,...wallahu'lam.
BalasHapusinformasinya banyak yang salah om.. gedung papak tidak dibangun tahun 1757. Baron van Hackeren de Sloot (bukan Baron van Hakeren van der Schoot) juga bukan seorang VOC, dia hidup pada akhir abad ke 19 sampai pertengahan abad 20
BalasHapus